Beranda | Artikel
Kitabul Jami Bab 2 - Hadits 8 - Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari
Selasa, 22 September 2020

Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

عنْ أبي أَيُّوبَ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ، أنَّ رسولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ: لَا يَحِلُّ لمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ (مُتَّفَقٌ عليهِ)

Dari Abū Ayyub radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasūlullāh ﷺ berkata, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot) saudaranya lebih dari 3 malam (yaitu 3 hari). Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik diantara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.” (Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)

Para pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ. Sesungguhnya syari’at Islam adalah syari’at yang indah, syari’at yang menyuruh umatnya untuk mempererat tali persatuan. Bukankah Allāh ﷻ berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurāt: 10)

Oleh karenanya, banyak sekali hadits-hadits yang menganjur-kan seorang mu’min untuk menunaikan kewajibannya terhadap saudaranya. Di antara kewajiban seorang mukmin terhadap saudaranya adalah sebagai berikut.

  • Menjawab salam apabila saudaranya memberikan salam.
  • Memenuhi undangan saudaranya.
  • Menjenguk saudaranya yang sakit.
  • Menghadiri, menyalatkan, dan mengantarkan ke pekuburan jika saudaranya meninggal.
  • Memberikan nasihat kepada saudaranya yang meminta nasihat.
  • Mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan itu untuk dirinya sendiri.

Selain perkara-perkara yang diperintahkan untuk menjaga keutuhan tali persaudaraan, syariat Islam juga melarang perkara-perkara yang dapat merusak keutuhan tali persatuan tersebut. Misalnya, Rasūlullāh ﷺ bersabda,

وَلاَ يَبِعِ بعضكم عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يخطب الرجل على خطبة أَخِيهِ

“Janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya.  Janganlah seseorang melamar di atas lamaran saudaranya.” (HR. Muslim no. 1412, dari shāhabat Ibnu ‘Umar)

وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا

“Janganlah kalian saling hasad (iri), janganlah kalian saling membenci.” (HR. Bukhāri dan Muslim)

Dan masih banyak lagi larangan-larangan Nabi ﷺ yang tujuannya agar persatuan di antara kaum muslimin dapat terjaga dengan baik.  Bahkan dalam Al-Qurān Allāh berfirman,

وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ

“Janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan di antara kalian dan janganlah saling mengghībah diantara kalian.” (QS. Al-Hujurāt: 12)

Dan juga,

لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ

“Janganlah sebuah kaum menghina kaum yang lain.” (QS. Al-Hujurāt: 11)

Dalil-dalil ini semua menunjukkan pentingnya untuk mempererat tali persatuan, sampai-sampai Nabi ﷺ bersabda,

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman kecuali sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian kepada suatu perkara yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Maka tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Maka praktek hajr (memboikot) seorang muslim bertentangan dengan seluruh dalil-dalil di atas. Namun, sebagai manusia kadang-kadang kita dikuasai hawa nafsu, terkadang bermasalah dengan saudaranya, maka dia pun marah kepada saudaranya terutama pada perkara-perkara dunia, entah dia yang salah atau saudaranya yang salah.

Maka, syari’at membolehkan (mengizinkan) seorang Muslim untuk mendiamkan/meng-hajr saudaranya, tidak ingin bertemu dengan saudaranya itu atau memboikot saudaranya itu. Namun waktu yang diizinkan hanya 3 hari saja.

Hal ini menunjukkan bahwa syari’at memperhatikan kondisi kejiwaan manusia yang apabila marah sulit untuk reda, memaafkan, dan melupakan begitu saja. Diperlukan waktu/proses agar segala bentuk kemarahan itu reda dan hilang sehingga kembali ke keadaan normal, bisa menerima, dan memaafkan kesalahan saudaranya.

Oleh karena itu syari’at memberikan kesempatan baginya untuk melampiaskan atau untuk membiarkan jiwanya emosi tetapi hanya selama 3 hari saja. Lebih dari itu tidak boleh karena dia punya kewajiban menyatukan tali persaudaraan dengan saudaranya sesama Muslim.

Maka dari itu Rasūlullāh ﷺ mengharamkan seseorang meng-hajr saudaranya lebih dari 3 hari. Beliau ﷺ bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr (memboikot) saudaranya lebih daripada 3 hari.”  Dengan demikian, apabila hajr dilakukan lebih dari 3 hari maka hukumnya haram.

Sehingga setelah 3 hari, dua orang muslim yang tadinya saling mendiamkan harus sudah saling memaafkan dan bergaul seperti biasa lagi. Bahkan diberikan pujian, bagi siapa yang memulai untuk menyapa saudaranya untuk menghentikan hajr tersebut. Disebutkan oleh Rasulullah ﷺ, “Yang terbaik di antara keduanya  (orang yang saling meng-hajr) adalah yang memulai dengan salam.”

Kenapa hal ini dipuji oleh Rasulullah? Karena orang yang memecahkan kebuntuan hubungan dengan memulai memberi salam dan menyapa berarti telah mengalahkan emosi dan egonya (keangkuhan jiwanya). Bisa jadi hal seperti itu ia lakukan setelah terjadi pergumulan yang dahsyat di dalam hatinya, seperti,

“Saya yang lebih tua, dia yang masih muda”

“Saya adalah Pamannya, dia yang seharusnya minta maaf ke saya”

Kebanyakan orang akan menampakkan egonya ketika terjadi perselisihan. Bahkan pada saat seperti itu syaithan pasti hadir untuk memanas-manasi keadaan.  Karenanya, kebanyakan orang akan mengatakan “Saya yang benar, dia yang salah.” Maka sungguh terpuji orang yang berlaku sebaliknya, memulai memberi salam dan meninggalkan egonya.

Apakah seseorang akan mengikuti hawa nafsu dan keangkuhan jiwanya ataukah dia mendahulukan untuk mendapatkan khairiyyah (ingin menjadi yang terbaik) di sisi Allāh ﷻ? Jika dia ingin menjadi yang terbaik di sisi Allāh ﷻ, di antara dia dengan saudaranya, maka hendaknya dialah yang memulai memberi salam kepada saudaranya.

Pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ. Ada khilaf di kalangan para ulama tentang bagaimana menyelesaikan hajr. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan, “Jika mereka bertemu dan sudah saling memberi salam, maka sudah selesai hajr.” Dengan demikian mereka sudah keluar dari yang diharamkan Nabi ﷺ. Inilah pendapat kebanyakan ulama, karena Rasūlullāh ﷺ mengatakan, “Yang terbaik adalah yang memulai dengan salam.”

Namun sebagian ulama mengatakan, “Tidak cukup, dia hanya bisa keluar dari perkara yang haram kecuali jika kembali  ke kondisi seperti sediakala”. Artinya, percuma kalau dia memberi salam tetapi wajahnya muram atau hatinya jengkel. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, “Tidak, tidak bisa selesai dari hajr kecuali kalau dia kembali seperti sedia kala”; yaitu senyum dengan hati yang bersih dan tidak ada dendam dan kemarahan.

Namun, allāhu a’lam bish-shawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama karena kalau harus kembali seperti sediakala ini bukan perkara yang ringan, bahkan mungkin sangat susah.  Seperti kata sebagian orang, “Kalau hati sudah terlanjur terluka maka sulit untuk kembali lagi. Seperti kaca yang sudah terlanjur pecah maka sulit untuk disambung kembali.”

Oleh karenanya, wallāhu a’lam bish-shawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama yaitu cukup jika dia memberi salam, maka selesailah hajr tersebut dan dia telah keluar dari yang diharamkan Nabi ﷺ.

Ingatlah firman Allāh ﷻ,

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Tidak sama antara kebaikan dan keburukan, maka balaslah dengan cara yang terbaik. Maka orang yang antara engkau dengan dia ada permusuhan, tiba-tiba dia menjadi teman yang dekat. Namun akhlaq seperti ini (membalas keburukan dengan kebaikan) tidaklah dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang bersabar dan tidak diberikan kecuali kepada orang yang mendapatkan keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

Ini adalah pujian yang luar biasa dari Allāh kepada orang yang  mengalahkan hawa nafsunya untuk memulai salam meskipun dia yang salah atau saudaranya yang salah. Hal demikian tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Maka orang yang bisa berbuat demikian adalah orang yang telah mendapatkan keberuntungan yang besar sebagaimana firman Allāh ﷻ di atas.

***

Semoga Allāh ﷻ menyatukan hati-hati kaum muslimin.

Para pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ. Rasūlullāh ﷺ melarang seseorang untuk menghajr saudaranya lebih dari 3 hari. Namun, para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah apabila bahwa hajr (yaitu memboikot saudaranya, tidak menyalami saudaranya, menjauh dari saudaranya, berpaling tatkala bertemu) tersebut berkaitan dengan perkara duniawi. Adapun meng-hajr orang lain karena perkara agama maka ini boleh lebih dari 3 hari. Sebagaimana meng-hajr/memboikot pelaku bid’ah atau pelaku maksiat, maka boleh lebih dari 3 hari.

Memboikot pelaku maksiat atau pelaku bid’ah adalah dengan mempertimbangkan 2 kemaslahatan, yaitu kemashlahatan yang berkaitan dengan pelaku bid’ah itu sendiri, dan kemashlahatan yang berkaitan dengan pihak yang meng-hajr.

  • Pertama, kemaslahatan yang berkaitan dengan pelaku bid’ah atau pelaku maksiat, maka kita menghajr dia sampai dia bertaubat kepada Allāh .

Dalil akan hal ini adalah kisah Ka’ab bin Mālik radhiallahu ‘anhu tatkala tidak ikut serta dalam perang Tābuk tanpa alasan yang syar’i. Maka, dia di-hajr oleh Nabi ﷺ dan para shāhabatnya sampai sekitar 50 hari. Sehingga Allāh turunkan ayat yang menjelaskan bahwasanya Allāh menerima taubat Ka’ab bin Mālik radhiallahu ‘anhu, baru kemudian Nabi ﷺ menghentikan praktek hajr-nya.

Apa yang dialami Ka’ab bin Mālik radhiallahu ‘anhu ini dijadikan dalil oleh seluruh ulama yang berbicara tentang masalah hajr. Mereka semuanya berdalil dengan kisah ini. Hal ini menunjukkan bahwa masalah meng-hajr pelaku maksiat sama dengan masalah meng-hajr pelaku bid’ah dengan tetap melihat kepada kemashlahatan dan kemudharatan.

Para pembaca yang dirahmati oleh Allāh ﷻ. Mengapa kita katakan bahwa praktek hajr (memboikot) pelaku bid’ah atau pelaku maksiat harus melihat mashlahat dan mudharat? Karena, masalah memboikot pelaku bid’ah atau pelaku maksiat adalah permasalahan al-amr bil ma’ruf wa nahyi ‘anil munkar (permasalahan amar ma’ruf nahi munkar).

Para ulama telah sepakat bahwa amar bil ma’ruf wa nahyi ‘anil munkar dibangun di atas mashlahat. Kalau penerapan amar ma’ruf nahi mungkar menimbulkan mashlahat, maka dikerjakan.  Sebaliknya,  jika penerapan amar ma’ruf nahi mungkar menimbulkan kemudharatan yang lebih buruk daripada kemungkaran yang sudah ada, maka hendaknya ditinggalkan. Oleh karenanya, masalah meng-hajr pelaku bid’ah atau pelaku maksiat pada zaman sekarang tidaklah mudah untuk dikerjakan.

Karenanya, Syaikh Albani rahimahullāh pernah berkata,

الهَجْرُ لاَ يَحْسُنُ أَنْ يُطَبَّقَ فِي هَذَا الْعَصْرِ لِأَنَّ أَهْلَ الْبِدَعِ هُمُ الْغَالِبُوْنَ

“Meng-hajr pelaku bid’ah tidak layak untuk diterapkan pada zaman sekarang ini karena mereka (ahlul bid’ah) yang paling banyak (mendominasi).”

Berbeda dengan zaman Imam Ahmad rahimahullah.Di zaman a’imatussalaf (para imam salaf) dahulu, dimana ahlus sunnah banyak dan ahlul bid’ah-nya sedikit. Sehingga kalau ahlus sunnah memboikot ahlul bid’ah, maka ahlul bid’ah akan terpuruk dan akhirnya melepaskan bid’ah yang dia lakukan karena dia akan merasa terjepit sebab diboikot oleh kebanyakan orang. Demikian juga para pelaku maksiat. Para pelaku maksiat dulu jika diboikot mereka berhenti dari maksiatnya.

Namun sekarang kondisinya berbeda, sekarang pelaku maksiat dan pelaku bid’ah banyak. Maka jika seseorang memaksa untuk memboikot pelaku bid’ah justru dia yang terboikot, sehingga tidak ada mashlahat yang ia dapatkan. Yang lebih tepat untuk dilakukan sekarang ini, wallahu a’lam, seseorang perlu mendekati pelaku maksiat untuk mendakwahinya, mengambil tangannya, dan berbicara dengannya agar ia mau meninggalkan kemaksiatannya.

Demikian juga terhadap bid’ah. Seorang yang merasa mampu hendaknya mendatangi ahlul bid’ah tersebut. Terutama ahlul bid’ah yang awam bukan ahlul bidah yang penyeru. Kemudian dia dakwahi, diajak ngobrol, dan diberi masukan. Sehingga diperoleh manfaat bagi pelaku bid’ah tersebut.

Barangkali kita perlu juga berkaca dengan keadaan kita sendiri. Dahulu sebelum kita mengenal manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mungkin sebagian dari kita juga terpuruk dalam sebagian bid’ah. Bagaimana kita mendapatkan hidayah? Ternyata kita mendapat hidayah bukan karena diboikot oleh orang ahlus sunnah, melainkan karena izin dari Allāh dengan perantaraan seorang pemuda ahlus sunnah yang mendekati kita kemudian mengajak ngobrol, memberikan masukan, dan mendakwahi kita dengan cara yang baik. Maka dengan izin Allah kita kemudian sedikit demi sedikit mampu meninggalkan berbagai bentuk bid’ah dan maksiat yang mungkin pada saat itu kita anggap sebagai hal yang lumrah.

Karenanya, meng-hajr pelaku maksiat dan pelaku bid’ah, terutama di zaman kita sekarang ini, harus benar-benar memperhatikan mashlahat dan mudharat. Jika meng-hajr orang yang tidak shalat misalnya, hanya akan semakin menjauhkannya dari shalat, maka lebih baik kita memilih cara lain selain meng-hajr-nya. Barangkali dengan pendekatan lain akan menyadarkannya dan membuatnya kembali melaksanakan shalat. Jadi kita tidak menerapkan hajr, meskipun sebenarnya disyari’atkan untuk meng-hajr orang yang tidak shalat.

  • Kedua, praktek hajr juga memperhatikan kemashlahatan pihak yang meng-.

Orang yang akan meng-hajr hendaknya memperhatikan kondisi dirinya. Jika ia berhadapan dengan seorang penyeru bid’ah yang memiliki dalil atau memiliki syubhat yang membahayakan,  maka hendaknya dia menjauh jika dia khawatir syubhatnya itu akan mempengaruhi dirinya. Hendaknya ia menghindari orang tersebut, jangan mendengarkan ceramah-nya dan jangan menghadiri kajiannya.

Namun jika pelaku bid’ah itu hanya pelaku bid’ah yang biasa, tidak punya syubhat dan tidak mengerti, maka orang seperti ini lebih utama untuk didekati, diajak mengobrol dan dinasihati. Mudah-mudahan dengan cara demikian, ia mau kembali ke jalan yang lurus.

Kesimpulannya, menghajr ahlul bid’ah atau pelaku maksiat disyari’atkan meskipun lebih dari 3 hari, karena tujuannya adalah memberi pelajaran kepada pelaku bid’ah tersebut atau untuk menyelamatkan diri kita agar tidak terjerumus ke dalam ke-bid’ah-nya.

Namun terakhir yang saya ingatkan, ikhwan dan akhwat, banyak orang praktek menghajr saudaranya, sebenarnya karena tendensi duniawi. Namun karena mereka memperpanjang praktek hajr tersebut, maka mereka membumbui seakan-akan mereka menghajr karena syari’at, padahal hakikatnya karena perkara dunia.

Oleh karenanya, orang yang menghajr dengan menganggap ini adalah perkara akhirat padahal kenyataannya karena perkara dunia, maka ini adalah perkara yang berbahaya.

***

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh ﷻ,

Dikatakan bahwasanya bisa jadi seorang yang meng-hajr/memboikot/tidak menyapa saudaranya karena perkara dunia. Terkadang syaithān datang membuat dia menghiasi seakan-akan yang dia lakukan adalah perkara syari’at, padahal bukan, akan tetapi karena hawa nafsunya, bukan karena ingin mendidik orang yang tidak dia sapa tersebut, atau karena ingin menyelamatkan dirinya, tapi karena hanya ingin memuaskan hawa nafsu.

Dan saya ingatkan sebagaimana juga diingatkan oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah, betapa banyak orang yang meng-hajr saudaranya karena perkara dunia, namun dia membawakannya dalam “casing” seakan-akan dia menghajr karena perkara akhirat. Maka hajr seperti ini hukumnya haram.

Telah disebutkan di depan bahwa meng-hajr saudaranya lebih dari 3 hari hukumnya adalah haram. Bahkan sebagian ulama memasukkannya ke dalam dosa besar. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan akan bahayanya perkara ini adalah sebagai berikut.

  • Pertama, Hadits dari Abū Hurairah radhiallahu ‘anhu dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullāh.

أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمُ الاثْنَيْنِ وَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لا يُشْرِكُ بِالله شَيْئًا إِلا رَجُلا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ ، فَيُقَالُ : أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا

Bahwasanya Rasūlullāh ﷺ bersabda: “Telah dibukakan pintu-pintu surga setiap hari Senin dan Kamis. Maka seluruh hamba yang tidak berbuat syirik kepada Allāh sama sekali akan diberi ampunan oleh Allāh, kecuali seseorang yang punya permusuhan dengan saudaranya.” Maka dikatakan kepada para malaikat, “Tangguhkanlah (dari ampunan Allāh) dua orang ini sampai mereka berdua damai.” (HR. Muslim no. 2565)

Hadits ini merupakan kabar gembira sekaligus menunjukkan keutamaan orang-orang yang bertauhid (tidak berbuat syirik kepada Allāh ﷻ). Bergembiralah bagi para pembaca yang selalu berusaha menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil, meskipun banyak maupun sedikit. Kepada mereka ini (yang berusaha bertauhid kepada Allāh) Allah akan memberikan ganjaran pada setiap hari Senin dan Kamis, yaitu dibukakan pintu-pintu surga dan mereka diberi ampunan.

Tetapi hadits ini juga menjelaskan bahwa ternyata ada orang-orang yang bertauhid yang rugi pada hari Senin dan Kamis karena tidak mendapat ampunan dari Allāh. Mereka bertauhid, namun mereka dalam keadaan bermusuhan dengan saudaranya. Oleh karenanya, Rasūlullāh ﷺ mengatakan “Kecuali seorang yang antara dia dengan saudaranya ada permusuhan,” maka dikatakan, “Tangguhkanlah ampunan pada kedua orang ini sampai mereka berdua berdamai.”

Ini merupakan kerugian yang sangat besar bagi orang yang bertengkar dengan saudaranya. Akibat bermusuhan kepada saudaranya, ia terhalangi dari ampunan yang Allāh anugerahkan setiap hari Senin dan Kamis.

  • Kedua, Hadits shahīh yang diriwayatkan oleh Abū Dāwud dan dishahīhkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullāh.

وعن أبي خراش السلمي رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : مَنْ هَجَرَ أَخَاهُ سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ

Dari Abū Khirāsh As-Sulamiy radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya dia mendengar Rasūlullāh ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang memboikot / meng-hajr saudaranya selama setahun, maka seakan-akan dia telah menumpahkan darah saudaranya.” (HR. Ahmad no 17.935, Abu Daud no 4.915)

Hadits ini merupakan ancaman yang sangat besar bagi pelaku hajr yang melampaui batas. Disebutkan bahwa setahun meng-hajr saudaranya adalah seakan-akan telah membunuh saudaranya itu. Betapa beratnya ancaman ini karena kita tahu bahwa membunuh adalah dosa yang sangat besar. Karena itu hadits Ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa menghajr saudara sampai satu tahun termasuk dosa besar. Bagaimana tidak, bukankah seharusnya dua saudara itu saling mencintai, saling menyayangi, saling menasihati, saling menginginkan kebaikan kepada yang lain, saling mengunjungi, dan sebagainya. Tetapi semua itu tidak dilakukan karena adanya hajr yang melampaui batas.

Terkadang hajr dikesankan seakan-akan didasarkan pada perkara-perkara syari’at, sehingga dengan itu seseorang dapat meng-hajr saudaranya untuk waktu yang panjang, lebih dari 3 hari. Namun seringkali hal itu hanyalah pengelabuan setan saja. Hajr yang dilakukan tidak lain adalah karena egonya, emosinya, hasadnya, dan sebagainya. Maka hal seperti itu hukumnya seperti “menumpahkan darah”, yaitu dosa besar. Wallahu a’lam.

  • Ketiga, Hadits yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullāh.

عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهماقال:قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ثَلَاثَةٌ لَا تُرْفَعُ لهم صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا : رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ ، وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā, ia berkata, Rasūlullāh ﷺ bersabda, “Ada tiga golongan orang yang shalat, yang shalat mereka tidak akan terangkat di atas kepala mereka meskipun hanya sejengkal (artinya shalat mereka tidak diterima oleh Allāh ), yaitu seorang yang menjadi imam pada suatu kaum padahal kaumnya itu benci kepadanya (tidak suka dia menjadi imam); seorang wanita yang dia tidur sementara suaminya marah kepadanya, (tentunya marah karena ada sebab yang syar’i) dan dua orang saudara yang saling bermusuhan (saling menghajr). (HR. Ibnu Majah I/311 no. 971, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Misyakatul Mashabih no. 1128)

Hadits ini juga menunjukkan kerugian bagi orang yang meng-hajr. Yaitu hajr yang dilakukan bukan karena alasan syar’i, tetapi hajr karena hawa nafsu, lebih dari tiga hari, bermusuhan, karena tidak ingin dirinya dibantah atau karena hobinya membantah, dan lain-lain meskipun ia mengesankan bahwa hajr yang ia lakukan adalah karena perkara agama. Maka dari itu, seluruh hajr dan boikot yang tidak syar’i menyebabkan seseorang tidak diterima shalatnya, sebagaimana hadits yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullāh di atas.

Oleh karena itu pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ, hendaknya seseorang mengingat akan hari akhirat. Hendaknya pula setiap mukmin berlapang dada menghadapi berbagai permasalahan yang timbul dalam pergaulannya sehari-hari.  Perlu disadari bahwa di dunia ini memang tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Jika seseorang marah kepada saudaranya maka silakan marah. Boleh saja ia jengkel dan cuek kepada saudaranya, tetapi syariat yang agung ini hanya membatasi sampai waktu 3 hari saja. Tidak boleh lebih.

Setelah itu, hendaknya seorang muslim memaafkan saudaranya dan akan sangat afdhol jika ia mau memulai memberi salam kepada saudaranya yang didiamkan itu. Ingatlah bahwa kehidupan akhirat jauh lebih indah. Tidak mungkin seseorang akan mendapatkan kenikmatan akhirat kecuali dengan bersabar terhadap problematika kehidupan di dunia ini.

Wallahu A’lam.


Artikel asli: https://firanda.com/4144-kitabul-jami-bab-2-hadits-8-larangan-mendiamkan-saudaranya-lebih-dari-tiga-hari.html